22/08/11

Meramal Masa Depan

Banyak orang yang ingin mengetahui masa depan. Sebagian orang begitu tak sabarnya menanti apa yang akan terjadi, karena itu mereka mulai mencari jasa dukun dan peramal. Saya punya peringatan bagi Anda mengenai para peramal: jangan percaya pada peramal yang miskin!

Para bhikkhu yang berlatih meditasi dianggap sebagai peramal yang hebat, tetapi biasanya mereka tidak gampang diajak bekerja sama.



Suatu hari, seorang umat yang telah lama menjadi murid Ajahn Chah meminta sang guru besar untuk meramal masa depannya. Ajahn Chah menolak: bhikkhu yang baik tidak ramal- meramal. Tetapi si murid bersikukuh. Dia mengingatkan Ajahn Chah berapa kali dia sudah berdana makanan, berapa banyak dana yang telah dia sumbangkan untuk viharanya, dan bagaimana dia menyopiri Ajahn Chah dengan mobil dan biaya darinya, mengabaikan keluarga dan pekerjaannya sendiri. Ajahn Chah melihat bahwa orang itu terus bersikeras meminta untuk diramal, jadi dia berkata untuk sekali ini saja dia akan membuat perkecualian terhadap peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh meramal. "Mana tanganmu. Sini kulihat telapak tanganmu."

Si murid sangat senang. Ajahn Chah belum pernah membaca telapak tangan murid lainnya. Ini spesial. Lagi pula, Ajahn Chah dianggap sebagai orang suci yang punya kemampuan batin yang hebat. Apa pun yang dikatakan oleh Ajahn Chah akan terjadi, pasti akan terjadi.

Ajahn Chah menelusuri garis-garis telapak tangan si murid dengan jarinya. Setiap beberapa saat, dia bicara sendiri, "Ooh, ini menarik" atau "Ya, ya, ya" atau "Luar biasa". Si murid yang malang itu risau dalam penantian.

Ketika Ajahn Chah selesai, dia melepaskan tangan si murid dan berkata kepadanya, "Murid, berikut ini adalah keadaan masa depanmu."

"Ya, ya," kata si murid dengan cepat.

"Dan saya tak pernah salah," tambah Ajahn Chah.

"Saya tahu, saya tahu. Jadi, bagaimana nasib masa depan saya?" tanya si murid dengan penasaran memuncak.

"Masa depanmu akan tak pasti," kata Ajahn Chah. Dan dia tidak salah!

Sumber: buku Membuka Pintu Hati

Gundukan Pupuk Kandang (oleh Ajahn Brahm)

Hal-hal tidak menyenangkan, seperti duduk di peringkat terbawah di kelas kita, terjadi dalam kehidupan. Hal-hal itu dapat terjadi pada setiap orang. Perbedaan antara orang yang bahagia dan tertekan hanyalah pada bagaimana mereka bereaksi terhadap kemalangan.

Bayangkan anda baru saja mengalami suatu sore yang indah di pantai bersama seorang teman. Ketika anda kembali ke rumah, anda mendapati gundukan pupuk kandang tepat di depan pintu


rumah anda. Ada 3 hal untuk diketahui sehubungan dengan gundukan pupuk kandang ini :
1. Anda tidak memesannya. Ini bukan kesalahan anda.
2. Anda merasa habis akal.Tak ada yang melihat siapa yg menimbunnya di situ, jadi anda tak dapat menelpon pelakunya utk menyingkirikannya.
3. Pupuk itu kotor dan semerbak memenuhi seluruh rumah anda. Sungguh tak tertahankan.

Pada perumpamaan ini, gundukan pupuk kandang di depan rumah anda melambangkan pengalaman2 traumatik yg menimpa kita dalam kehidupan. Seperti halnya dg gundukan pupuk kandang itu, ada 3 hal untuk diketahui sehubungan dengan tragedi dalam kehidupan kita.
1. Kita tak memesannya. Kita berkata : “Kenapa saya ?”
2. Kita merasa habis akal. Tak seorangpun, sekalipun teman terbaik kita dapat menyingkirikannya (meski mereka mencoba)
3. Tragedi itu sangat menyakitkan menghancurkan kebahagiaan kita, dan rasa sakit yang
ditimbulkannya menghantui sepanjang hidup kita. Sungguh tak tertahankan.

Ada 2 cara merespon timpaan gundukan pupuk kandang itu. Cara pertama adalah membawa kotoran itu ke mana-mana bersama kita. Kita taruh segenggam di saku kita, sebagian di tas kita dan sebagian lai di baju kita. Kita bahkan juga menaruhnya di celana panjang kita. Kita dapati, ketika kita membawa kotoran itu ke mana-mana, kita kehilangan teman! Bahkan teman2 terbaik pun tampaknya tak begitu senang lagi dekat2 dg kita.

Membawa kotoran ke mana2 adalah perumpamaan untuk keadaan tenggelam dalam depresi, hal-hal negatif, atau amarah. Itu adalah sebuah respon terhadap kemalangan yang lumrah dan dapat dimaklumi. Tetapi kita kehilangan banyak teman, karena lumrah dan dapat dimaklumi pula jika teman2 kita tidak suka berada di samping kita yang selalu merasa depresi. Lagipula, dg cara ini gundukan kotoran itu sendiri tak menjadi berkurang, tapi baunya malah bertambah busuk.

Untunglah, ada cara kedua. Ketika kita tertimpa gundukan pupuk kandang, kita menghela napas, dan setelah itu mulai bekerja. Ambil gerobak dorong, garu dan sekop. Kita garu kotoran itu ke gerobak dorong, membawanya ke belakang rumah dan menguburnya di kebun kita. Memang ini sulit dan melelahkan, tetapi kita tahu tak ada pilihan lain. Kadang kita hanya mampu mengatasi separuh gerobag saja dalam sehari, namun kita melakukan sesuatu yang menyelesaikan masalah, daripada hanya mengeluh saja dan terbenam dalam depresi. Dari hari ke hari, kita menggaru dan mengubur kotoran itu. Dari hari ke hari gundukannya menjadi semakin berurang. Kadang diperlukan waktu beberapa tahun, namun pagi yang cerah tiba juga ketika gundukan kotoran di depan rumah kita tak berbekas lagi. Selanjutnya, sebuah keajaiban terjadi di belakang rumah kita. Bunga-bunga di kebun kita bermekaran dg warna-warni memenuhi setiap sudut. Keharuman menyebar sampai ke jalan, sehingga para tetangga bahkan orang lewat pun tersenyum bahagia karenanya. Lalu pohon buah yang tumbuh di sudut tanaman hampir rubuh karena begitu tergelayuti oleh buah-buahnya. Dan buahnya sungguh manis. Anda tak dapat membeli buah seperti itu. Ada begitu banyak buah, bahkan orang2 yg lewat pun dapat ikut menikmati sedapnya rasa buah ajaib itu.

“Mengubur kotoran” adalah perumpamaan untuk menyambut datangnya tragedi sebagai penyubur bagi kehidupan kita. Itu pekerjaan yang harus kita lakukan sendiri, tak ada yang dapat membantu kita. Namun dg menguburnya di taman hati kita, dari hari ke hari, gundukan rasa sakit itu semakin berkurang. Bisa saja itu membutuhkan beberapa tahun, namun pagi yg cerah akan tiba tatkala kita melihat tak ada lagi rasa sakit di dalam hidup kita dan di dalam hati kita, sebuah keajaiban telah terjadi. Bunga2 kebajikan bermekaran memenuhi seluruh tempat, dan harumnya cinta menyebar sampai jauh, ke para tetangga kita, teman kita, dan bahkan sampai juga ke orang2 yang tidak kita kenal. Lalu pohon kebijaksanaan yang tumbuh di sudut taman hati kita menjadi tergelayut karena saratnya buah pencerahan akan hakikat kehidupan. Kita dapat membagi-bagikan buah2 yg enak itu dengan gratis, bahkan kepada orang2 yg tdk kita kenal, tanpa sengaja merencanakannya.

Ketika kita telah mengenal rasa sakit yang tragis, pelajarilah pelajaran yang diberikannya, dan tumbuhkan taman kita, lalu kita dapat merangkulkan lengan kita dalam tragedi yang dalam dan berkata dg lembut, “ Aku tahu”. Mereka akan tahu bahwa kita telah paham. Belas kasih dimulai. Kita tunjukkan pada mereka gerobak dorong, garu, sekop dan dorongan semangat tanpa batas. Jika kita belum dapat menumbuh kembangkan taman kita sendiri, semua ini tak dapat kita lakukan.

Saya mengenal banyak bikkhu yg piawai dalam bermeditasi, yg penuh kedamaian, tenang dan tenteram dalam menghadapi kemalangan. Tetap hanya sedikit yg menjadi guru hebat. Saya sering heran mengapa bisa begitu.

Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa bikkhu2 yg relatif tidak banyak kemalangan, yg mempunyai sedikit kotoran utk dikuburkan, adalah mereka yg tidak menjadi guru2 hebat. Adalah bikkhu2 yg mengalami kesukaran yg besar,dg diam menguburkannya, dan datang dg taman yg subur, adalah mereka yang menjadi guru2 hebat. Mereka semua memiliki kebijaksanaan, ketenangan, dan belas kasih; tetapi hanya mereka yg memiliki kotoran lebih banyaklah yg dpt membagikannya kepada dunia. Guru saya, Ajahn Chan, yg bagi saya pribadi adalah menara dari semua guru, pasti memiliki armada truk pengangkut pupuk kandang yg berjejer di depan pintu rumahnya, pada masa2 awal kehidupannya.

Barangkali moral dari cerita ini adalah, jika anda ingin melayani dunia, jika anda ingin mengikuti jalan belas kasih, maka bila suatu ketika tragedi terjadi dalam hidup anda, anda dapat berkata, “Cihui ! Aku dapat banyak pupuk untuk taman saya”.

Kisah Dua Sahabat

Suatu ketika terdapat dua orang sahabat yang berasal dari keluarga terpelajar, dua bhikkhu dari Savatthi. Salah satu dari mereka mempelajari Dhamma yang pernah dikhotbahkan oleh Sang Buddha, dan sangat ahli/pandai dalam menguraikan dan mengkhotbahkan Dhamma tersebut. Dia mengajar lima ratus bhikkhu dan menjadi pembimbing bagi delapan belas group dari para bhikkhu tersebut.

Bhikkhu lainnya berusaha keras, tekun, dan sangat rajin dalam meditasi sehingga ia mencapai tingkat kesucian arahat dengan memiliki pandangan terang analitis.

Pada suatu kesempatan, ketika bhikkhu kedua datang untuk memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana, kedua bhikkhu tersebut bertemu. Bhikkhu ahli Dhamma tidak mengetahui bahwa bhikkhu sahabatnya telah menjadi seorang arahat. Dia memandang rendah bhikkhu kedua itu, dia berpikir bahwa bhikkhu tua ini hanya mengetahui sedikit Dhamma. Maka dia berpikir akan mengajukan pertanyaan kepada sahabatnya, bahkan ingin membuat malu.

Sang Buddha mengetahui tentang maksud tidak baik itu, Sang Buddha juga mengetahui bahwa hasilnya akan membuat kesulitan bagi pengikut luhur seperti bhikkhu terpelajar itu. Dia akan terlahir kembali di alam kehidupan yang lebih rendah.

Dengan dilandasi kasih sayang, Sang Buddha mengunjungi kedua bhikkhu tersebut untuk mencegah sang terpelajar bertanya kepada bhikkhu sahabatnya.
Sang Buddha sendiri bertanya perihal ‘Penunggalan Kesadaran’ (jhana) dan ‘Jalan Kesucian’ (magga) kepada guru Dhamma; tetapi dia tidak dapat menjawab karena dia tidak mempraktekkan apa yang telah diajarkan.

Bhikkhu sahabatnya telah mempraktekkan Dhamma dan telah mencapai tingkat kesucian arahat, dapat menjawab semua pertanyaan. Sang Buddha memuji bhikkhu yang telah mempraktekkan Dhamma (vipassaka), tetapi tidak satu kata pujianpun yang diucapkan Beliau untuk orang yang terpelajar (ganthika).

Murid-murid yang berada di tempat itu tidak mengerti, mengapa Sang Buddha memuji bhikkhu tua dan tidak memuji kepada guru yang telah mengajari mereka. Karena itu, Sang Buddha menjelaskan permasalahannya kepada mereka.

Pelajar yang banyak belajar tetapi tidak mempraktekkannya sesuai Dhamma adalah seperti pengembala sapi, yang menjaga sapi-sapi untuk memperoleh upah, sedangkan seseorang yang mempraktekkan sesuai Dhamma adalah seperti pemilik yang menikmati lima manfaat dari hasil pemeliharaan sapi-sapi tersebut. Jadi orang terpelajar hanya menikmati pelayanan yang diberikan oleh murid-muridnya, bukan manfaat dari ‘Jalan’ dan ‘Hasil Kesucian’ (magga-phala).

Bhikkhu lainnya, berpikir dia mengetahui sedikit dan hanya bisa sedikit dalam menguraikan Dhamma, telah memahami dengan jelas inti dari Dhamma dan telah mempraktekkannya dengan tekun dan penuh semangat; adalah seseorang yang berkelakuan sesuai Dhamma (anudhammacari). Yang telah menghancurkan nafsu indria, kebencian, dan ketidak-tahuan, pikirannya telah bebas dari kekotoran batin, dan dari semua ikatan terhadap dunia ini maupun pada yang selanjutnya, ia benar-benar memperoleh manfaat dari ‘Jalan?dan ‘Hasil Kesucian’ (magga-phala).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 19 dan 20 berikut ini :
Biarpun seseorang banyak membaca kitab suci, tetapi tidak berbuat sesuai dengan ajaran, maka orang lengah itu sama seperti gembala sapi yang menghitung sapi milik orang lain; ia tak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

Biarpun seseorang sedikit membaca kitab suci, tetapi berbuat sesuai dengan ajaran, menyingkirkan nafsu indria, kebencian dan ketidaktahuan, memiliki pengetahuan benar dan batin yang bebas dari nafsu, tidak melekat pada apapun baik di sini maupun di sana; maka ia akan memperoleh manfaat kehidupan suci.