20/09/11

Kisah Kijang yang Cerdas

Sekali waktu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor kijang, ia tinggal di sebuah hutan dan hidup dari buah-buahan yang ada di hutan tersebut. 
Pada waktu itu, ia hidup dari buah pohon sepa (Gmelina Arborea). Di desa, terdapat seorang pemburu yang melakukan perburuan dengan cara membangun panggung kecil di cabang pohon tempat ia menemukan jejak rusa; ia mengamati dari atas saat rusa itu datang untuk makan buah dari pohon tersebut. Saat rusa muncul, ia membunuhnya dengan menggunakan tombak, dan menjual daging rusa itu untuk menghidupi dirinya. Suatu hari, ia menemukan jejak kaki Bodhisatta di sebuah pohon, ia pun membangun panggung kecil di cabang pohon tersebut.
Setelah sarapan lebih awal, ia membawa tombaknya dan masuk ke hutan itu, kemudian duduk di panggung kecil yang telah dibangunnya. Bodhisatta juga muncul pagi-pagi untuk makan buah dari pohon tersebut, namun ia tidak segera menghampiri tempat itu. Ia berpikir, “Kadang-kadang pemburu membangun panggung kecil di dahan pohon. Apakah hal itu juga terjadi di pohon ini?” Ia berhenti di tengah jalan untuk mengintip kesalahan.

Melihat Bodhisatta tidak mendekat, pemburu yang masih duduk di panggung itu melemparkan buah-buahan ke hadapan kijang itu. Berpikirlah kijang itu, “Buah-buahan ini datang sendiri kepadaku. Saya ragu apakah ada pemburu di atas sana.” Maka ia memperhatikan lebih teliti lagi, akhirnya terlihat juga olehnya pemburu yang berada di atas pohon itu, namun ia berpura-pura tidak melihatnya, Bodhisatta berkata kepada pohon itu, “Pohonku yang sangat berharga, sebelumnya engkau mempunyai kebiasaan untuk menjatuhkan buah ke tanah dengan gerakan laksana anting-anting yang menjalar turun, namun hari ini kamu berhenti bertingkah seperti sebuah pohon, saya juga harus berubah, dengan mencari makanan di bawah pohon yang lain.”
Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, ia mengulangi syair berikut ini :

Kijang ini mengetahui dengan baik buah yang engkau jatuhkan; saya tidak menyukainya, saya akan mencari pohon lain.
Pemburu itu melemparkan tombaknya ke arah Bodhisatta dari panggung itu, dan berteriak, “Pergi! Saya tidak mendapatkanmu kali ini.” Membalikkan badannya, Bodhisatta berhenti sejenak dan berkata, “Engkau memang tidak mendapatkan saya, Teman yang baik, namun percayalah, engkau tidak kehilangan akibat perbuatanmu, yakni delapan neraka besar (mah?niraya) dan enam belas neraka kecil (ussadaniraya), serta lima bentuk ikatan dan siksaan.” Diiringi dengan kata-kata ini, kijang itu meninggalkan tempat itu, pemburu itu juga turun dari panggung itu dan pergi dari sana.
Sumber artikel : http://buddhist.dipankarajayaputra.com/kisah-kijang-yang-cerdas.html
Sumber gambar : http://lotaugak.blogspot.com

Biarkanlah Pohon Itu Tumbuh

Sang Buddha menjelaskan bahwa segala sesuatu secara alamiah, sekali anda telah melaksanakan tugas anda, serahkanlah hasilnya pada alam, pada kekuatan akumulasi karmamu. Akan tetapi pengerahan usahamu harus tidak berkurang. Apakah buah kebijaksanaan itu datangnya cepat atau lambat anda tidak dapat memaksanya, seperti halnya anda tidak dapat memaksa tumbuhnya sebuah pohon yang anda tanam.

Pohon itu punya masanya sendiri. Tugasmu hanyalah menggali lubang, mengairi dan memupuknya, serta menjaganya dari hama. Tapi cara pohon itu bertumbuh adalah terserah kepada pohon itu sendiri. Jika anda berlatih seperti ini, yakinlah anda bahwa semuanya akan beres, dan tanaman anda akan tumbuh.

Karena itu, anda harus mengerti perbedaan antara kerja anda dengan kerja pohon itu, Serahkanlah urusan pohon itu kepada pohon itu, dan bertanggung jawablah kepada urusan anda sendiri. Jika batin tidak tahu apa yang perlu ia lakukan, ia akan memaksa tanaman itu untuk tumbuh, berbunga dan berbuah pada hari yang sama.

Ini adalah pandangan yang salah, penyebab besar dari penderitaan. Berlatih sajalah pada arah yang benar dan serahkan hasilnya pada karmamu. Kemudian, apakah akan membutuhkan waktu satu atau ribuan kali kehidupan, latihan anda akan berada dalam kedamaian.

Sumber artikel : Buku Telaga Hutan yang Hening
Sumber gambar : yayu.wordpress.com

Kisah Babi Peta

Suatu ketika, saat Maha Moggallana Thera berjalan menuruni bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, beliau melihat sesuatu yang menyedihkan, yaitu makhluk peta kelaparan, dengan kepala berwujud babi dan berbadan manusia. Melihat makhluk peta tersebut, Maha Moggallana Thera tersenyum namun tak berkata sedikit pun. Pada saat tiba di vihara, Maha Moggallana Thera menghadap Sang Buddha, membicarakan tentang makhluk peta berwujud babi yang mulutnya penuh dengan belatung.

Kebahagiaan Sejati

Lupakan soal suka dan tidak suka. Keduanya bukanlah konsekuensi, Kerjakan apa yang harus dikerjakan. Mungkin itu bukan sesuatu yang membahagiakan, namun disitulah letak kebesaran.  Seorang ibu cantik berpakaian mewah datang ke psikiater utk konsultasi. Ia merasa seluruh hidupnya kosong tak bermakna.
Psikiater itu memanggil seorang perempuan tua, salah seorang petugas di kantor…
“Saya minta Anni utk menceritakan bagaimana ia menemukan kebahagiaan. Yang harus Ibu lakukan hanya mendengarkan saja.”
Anni duduk di kursi & bercerita, “Suami saya meninggal karena kanker. Tiga bulan kemudian putra tunggal saya meninggal ditabrak truk. Saya tak punya siapa pun. Tak ada yg tertinggal. Saya tak bisa tidur, tak bisa makan, tak bisa senyum. Saya bahkan berpikir mau bunuh diri.
Lalu suatu malam, ketika pulang kerja, seekor kucing mengikuti saya. Karena di luar dingin, saya membiarkan anak kucing itu masuk ke dalam rumah. Saya memberinya susu, yg langsung habis diminum. Anak kucing itu mengeong & mengusapkan badannya ke kaki saya. Utk pertama kalinya dlm bulan itu, saya bisa tersenyum.
Saya lalu berpikir, jika membantu anak kucing bisa membuat saya tersenyum, mungkin melakukan sesuatu utk orang lain bisa membuat saya bahagia.
Jadi, hari berikutnya, saya buat kue & bawa ke tetangga yg sakit, yg terbaring di ranjang & tak bisa bangun.
Setiap hari saya mencoba melakukan sesuatu yg baik pada seseorang. Melihat mereka bahagia membuat saya bahagia.
Hari ini, rasanya tak ada org yg bisa makan lahap & tidur pulas seperti saya. Saya menemukan kebahagiaan, kegembiraan dgn memberikan kegembiraan pada org lain,” kata Anni.
Mendengar cerita ini, perempuan kaya itu menangis. Ia punya segala sesuatu yg bisa dibeli dengan uang, tapi dia kehilangan hal-hal yg tak bisa dibeli uang.
Syukur adalah magnet keberkahan. Bersyukurlah atas apa yg telah dimiliki agar kebahagiaan selalu mengisi kehidupan. Jangan cari kesempurnaan tapi sempurnakan yg telah ada. Jangan fokus pada apa yg hilang, berfokuslah pada apa yg masih dimiliki.

Sumber artikel : http://buddhist.dipankarajayaputra.com/kebahagian-sejati.html
Sumber gambar : eky-ekyputri.blogspot.com