Pada zaman Sang Buddha, terdapatlah seorang Bhikkhu Arahat yang bernama Cakkhupala yang matanya buta. Suatu hari, YM. Cakkhupala datang mengunjungi Sang Buddha di vihara Jetavana untuk memberi hormat. Suatu malam, ketika ia melakukan meditasi-jalan (cankamana), ia dengan tidak sengaja menginjak beberapa ekor serangga.
Pada pagi harinya, beberapa orang bhikkhu yang datang mengunjunginya melihat ada beberapa ekor serangga yang mati. Mereka berpikir jelek terhadapnya dan melaporkan hal ini kepada Sang Buddha. Sang Buddha menanyakan apakah mereka melihat Cakkhupala membunuh serangga-serangga itu. Mereka mengatakan tidak. Sang Buddha lalu berkata, "Sama seperti kalian tidak melihat ia membunuh, begitu juga ia tidak melihat adanya serangga-serangga itu. Lagipula, sebagai seorang Arahat, ia tidak mempunyai kehendak/niat (cetana) untuk membunuh serta tidak bersalah karena melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat itu". Ketika ditanya mengapa Cakkhupala buta padahal ia seorang Arahat, Sang Buddha menceritakan kisah berikut untuk menjelaskan kealamiahan dari Hukum Kamma.
Cakkhupala pada kehidupan lampaunya adalah seorang dokter. Suatu kali ia dengan sengaja telah membuat buta mata seorang pasien wanita. Alkisah, wanita itu pernah berjanji akan menjadi pelayannya bersama anak-anaknya jika penyakit matanya yang buta dapat disembuhkan. Karena takut bahwa ia dan anak-anaknya akan menjadi pelayan, maka ia berbohong kepada dokter itu. Dia mengatakan bahwa keadaan matanya semakin memburuk, padahal kenyataannya, matanya telah sembuh. Sang dokter tahu bahwa wanita itu membohonginya. Karena itu, sebagai pembalasan dendamnya, ia memberikan obat mata lain kepada wanita itu, yang membuat kedua matanya buta total. Sebagai akibatnya dari perbuatan jahat ini, sang dokter kehilangan penglihatannya (buta) dalam banyak kelahiran berikutnya.
Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair berikut:
"Semua fenomena/bentuk-bentuk batin memiliki pikiran sebagai pelopornya; memiliki pikiran sebagai pemimpinnya; dibuat oleh pikiran. Jika seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat, maka penderitaan (dukkha) akan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti jejak kaki lembu yang menarik kereta pedati itu." (Dhammapada-1)
(Sumber: Realization of the Dhamma, Sayadaw U Dhammapiya, Selangor Buddhist Vipassana Society, Malaysia 1994. Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XII, atas izin Ir. Lindawati T)
Dikutip dari: Kalyanadhammo, Bodhi Buddhist Centre Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar