Cerita Buddhis

Kuda Hebat yang Mengetahui
(Keberanian)

Dahulu kala, Raja Brahmadatta memerintah di Benares, sebelah Utara India. Ia mempunyai seekor kuda yang dulunya dilahirkan didaerah Sindh, di desa Sungai Indus, sebelah Barat India. Sebenarnya, kuda ini adalah makhluk yang akan mencapai penerangan (Bodhisatta).

Selain besar dan kuat, kuda tersebut juga sangat pintar dan bijaksana. Ketika ia masih muda, orang-orang menyadari bahwa kelihatannya kuda ini tahu apa yang diinginkan oleh pengendaranya bahkan sebelum diberitahu. Jadi ia dinamai kuda Yang-Tahu.

Ia dianggap sebagai kuda terbaik di antara kuda-kuda kerajaan yang lain, dan diberikan apapun yang berbaik. Kandanya selalu dihiasi dan dijaga agar bersih dan indah. Kuda biasannya patuh kepada majikannya. Yang-Tahu sangatlah setia terutama kepada raja yang telah merawatnya dengan begitu baik. Di antara semua kuda kerajaan Yang-Tahu juga adalah yang paling berani. Jadi raja pun menghormatinya bersenjatanya dan mempercayainya.

Diceritakan bahwa 7 kerajaan tetangga bergabung berama untuk berperang melawan Raja Brahmadatta. Tiap raja membawa 4 pasukan bear - pasukan gajah, kuda, barisan kereta, dan tentara-tentara dan Bersama-sama, ketujuh raja tersebut dengan semua angkatan bersenjatanya mengepung kota Benares.

Raja Brahmadatta mengumpulkan semua menteri dan penasehatnya untuk membuat rencana mempertahankan kerajaan. Mereka menasehati raja tersebut, "jangan menyerah, Kita harus berjuang untuk mempertahankan posisi kita,. Tetapi anda tidak seharusnya membahayakan orang-orang kerajaan dahulu. Sebaliknya kirimkanlah juara diantara para ksatria untuk menggantikan anda di medan laga. Jika ia gagal, barulah anda sendiri yang harus maju".

Jadi Sang raja memanggil juara dari semua ksatria dan bertanya, "Dapatkah anda menang melawan ke-7 raja ini?" Ksatria itu memjawab, "Jika anda mengizinkan saya untuk menaiki kuda yang terberani dan paling bijaksana, kuda hebat Yang-Tahu, hanya dengan begitu ak dapat memenangkan pertempuran". Raja itu setuju dan berkata, "Juaraku, sekarang tergantung pada andam dan Yang-Tahu untuk menyelamatkan negara yang saat ini sedang dalam bahaya. Bawalah bersamamu apapun yang kauperlukan".

Ksatria juara itu pergi ke kandang kerajaan. Ia memerintahkan agar Yang-Tahu diberi makan dengan baik dan dipasangkan baju perlindungan, dengan semua pernik yang diperlukan. Kemudian ia menghormati dan menaiki sadel yang indah tersebut.

Yang-Tahu mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia berpikir, "Ketujuh raja ini telah datang untuk menyerang negara dan rajaku, yang telah memberikan makanan, memperhatikan, serta mempercayaiku. Tidak hanya ketujuh raja itu, tetapi juga rombonga tentera mereka yang besar dan kuat mengancam rahaku dan semua penduduk Benares. Aku tidak dapat membiarkan mereka menang. Tetapi aku juga tidak dapat membiarkan ksatria juara ini membunuh raja-raja itu. Karena jikalau demikian maka aku akan ikut membuat tindakan yang salah karena mengambil nyawa makhluk lain, hanya demi satu kemenangan biasa. Maka sebaliknya, aku akan mengajarkan cara yang baru. Aku akan menangkap ketujuh raja tersebut tanpa membunuh siapapun. Ini baru akan merupakan kemenangan yang benar-benar hebat!"

Kemudian yang-Tahu berbicara kepada pengendaranya. "Tuan ksatria, marilah kita memenangkan peperangan ini dengan cara yang baru, tanpa menghancurkan kehidupan. Anda harus hanya menangkap satu raja dalam satu kesempatan, dan tetap kokoh berada di punggungku. Biarkanlah saya menemukan strategi di antara setiap pasukan. Perhatikanlah saya sembari anda menunggang, dan saya akan menunjukkan kepada anda keberanian yang melebihi cara yang lama, cara pembunuhan!"

Dengan mengatakan 'cara baru' dan 'strategi yang baru', dan 'keberanian yang melewati', tampaknya hewan yang mulia itu menjadi lebih hebat daripada kehidupan. Ia maju dengan gagahnya dengan kaki-kakinya yang kuat, dan melihat ke bawah menuju semua pasukan yang mengepung kota itu. Semua mata tertuju kepada makhluk yang luar biasa ini. Bumi bergetar sesaat setelah kaki-kaki depannya menginjak tanah dan ia meleset ke dalam kumpulan empat pasukan dari raja yang pertama. Ia mempunyai kecepatan bagai kilat, kekuatan 100 gajah, dan keyakinan diri yang hebat bagaikan seorang dari dunia yang lain.

Gajah-gajah tersebut tidak dapat mengingat ada kuda lain yang seperti itu, jadi pasukan gajah itu mundur ketakutan. Kuda-kuda yang lain tahu bahwa makhluk yang satu ini adalah saudara serumpun yang patut menjadi tuan mereka, jadi pasukan kuda dan kereta tersebut tegak berdiam dan menunduk hormat sewaktu Makhluk yang Hebat itu lewat. Dan para pasukan yang berbaris terserak bagaikan ditimpa angin ribut.

Raja yang pertama tidak sempat menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu ia telah tertangkap dengan mudah dan dibawa kembali ke kota Benares. Demikian juga dengan raja kedua, ketiga, keempat dan kelima.

Dengan cara yang sama raja keenam ditankap. Tetapi salah satu prajuritnya yang setia keluar dari tempat persembunyian dan menusukkan pedannya dalam-dalam pada sisi badan Yang-Tahu yang berani itu. Dengan darah mengalir dari luka tersebut, ia membawa raja keenam dan prajurit tersebut kembali ke kota.

Ketika ksatria penunggang Yang-Tahu mengetahui luka yang berat tersebut, tiba-tiba ia merasa takut untuk menunggang kembali yang-Tahu untuk menghadapi raja ketujuh. Jadi ia mulai mengenakan perlengkapan perang bagi kuda tyang lain, yang memang berbadan hampir sebesar Yang-Tahu.

Melihat hal ini, meskipun sangat menderita dari lukannya yang mematikan, Yang-Tahu berpikir, "Ksatria juara ini kehilangan keberaniannya begitu cepat. Ia belum mengerti benar sifat alami kekuatanku - pengetahuan bahwa kedamaian yang sesungguhnya hanyalah dapat dimenagnkan dengan cara yang damai. Ia mencoba untuk mengalahkan raja ketujuh berserta pasukannya dengan cara seperti lazimnya, mengendarai kuda biasa.

"Setelah mengambil langkah pertama, tidak lagi membunuh makhluk hidup, aku tidak dapat lagi berhenti setengah jalan. Usahaku yang keras untuk mengajarkan cara yang baru akan hilang bagaikan garis yang dibuat di atas air!"

Kuda hebat Yang-Tahu berbicara kepada ksatria tersebut. "Tuan ksatria, raja ketujuh dan pasukannya adalah yang paling kuat di antara yang lainnya. Mengendarai kuda biasa, meskipun anda membunuh 1000 orang dan binatan, anda akan dikalahkan. Aku adalah satu anggota dari rumpun kuda Sindh terhebat yang disebut Yang-Tahu, hanyalah aku yang dapat melewati mereka tanpa melukai siapapun dan membawa raja yang ketujuh kembali dengan hidup-hidup!"

Ksatria tersebut mendapatkan kembali keberaniannya. Kuda yang berani itu kembali tegak berdiri dengan rasa sakit yang menderanya. Meskipun darah terus saja mengalir, ia tetap melesat kedepan dan menembus kumpulan 4 kelompok serdadu, dan ksatria itu berhasil membawa raja ketujuh tersebut. Sekali lai semua jalan yang dilaluinya tanpa pertumpahan darah dan luka. Melihat ketujuh raja telah tertangkap, semua pasukan meletakkan senjata mereka dan meminta perdamaian.

Menyadari bahwa kuda yang-Tahu tidak akan dapat hidup melewati malam itu, Raja Brahmadatta pergi menjenguknya. Ia telah membesarkan kuda itu sejak kuda ini masih muda, jadi ia mencintainya. Ketika ia melihat bahwa kuda itu telah sekarat, ia pun menangis.

Yang-Tahu berkata, "Tuanku raja, aku telah melayani tuan dengan baik. Dan aku telah dapat meninggalkan cara yang lama dan menunjukkan cara yang baru. Sekarang anda harus mengabuli permintaan terakhirku. Anda tidak boleh membunuh ketujuh raja terseut, meskipun mereka telah berbuat salah terhadap anda. Karena kemenangan berdarah akan membawa bibit perang di masa depang. Maafkanlah serangan mereka terhadap anda, biarlah mereka kembali menuju kerajaan mereka masing-masing, dan semoga anda selalu hidup dalam perdamaian mulai dari sekarang".

"Hadiah apapun yang akanh anda berikan kepada saya, sebaliknya berikanlah kepada ksatria juara. Berbuatlah hanya hal-hal yang baik, bermurah hatilah, hormatilah Kebenaran dan janganlah membunuh makhluk hidup apapun. Memerintahlah dengan adil dan penuh kasih sayang".

Kemudian ia menutup mata dan menghembuskan nafas terakhirnya. Raja tersebut menangis, dan semua berduka atas kematian Yang-Tahu. Dengan penghormatan yang sebesar-besarnya mereka mengkremasikan tubuh Yang-Tahu - Makhluk yang akan mencapai Penerangan (Bodhisatta)

Raja Brahmadatta kemudian membawa ketujuh raja tersebut kehadapan Yang-Tahu. Mereka juga menghormati Makhluk yang Hebat ini, yang telah mengalahkan begitu banyak serdadu tanpa menghamburkan setetes darah pun, kecuali darahnya sendiri. Dalam ingatan, mereka membuat perdamaianm dan tidak pernah lagi ketujuh raja ini dan Brahmadatta berperang.

PESAN YANG ADA:
Kedamaian yang sebenarnya hanyalah dapat dimenangkan dengan cara yang damai.




Cerita Buddha - Buddha Konagamana

BUDDHA KONAGAMANA

Konagamana adalah Buddha ke 23 dan Buddha ke 2 diantara 5 Buddha yang lahir di Kappa Bhadda.

Lahir di Taman Subhagavati di Sobhavati, ibukota dari raja Sobha, Beliau adalah putra dari seorang Brahmin bernama Yannadatta. Uttara adalah ibuNya. IstriNya adalah Ruchigatta dan Satthavaha adalah putra mereka. Beliau hidup sebagai perumah tangga selama 3.000 tahun di 3 istana: Tusita, Santusita dan Santuttha. Selanjutnya Beliau melepaskan kehidupan duniawi dengan menunggang seekor gajah. Beliau melakukan latihan keras selama 6 tahun. Beliau menerima nasi susu dari seorang wanita Brahmin Aggisoma; dan rumput untuk tempat dudukNya dari Tinduka. Pohon pencapaian pencerahanNya adalah Udumbara. Beliau menyampaikan kotbah pertamaNya di Taman Sudassana Nagara.

Beliau meninggal di Pabbatarama pada umur 30.000 tahun. MuridNya yang utama diantara para bhikkhu adalah Bhiyya dan Uttara; dan Samudda dan Uttaraa diantara para bhikhuni. Pembantu utamaNya adalah Sotthiya. Di antara para pengikut pria awam Ugga dan Somadeva adalah yang populer; sedangkan diantara para pengikut wanita awam Sivala dan Sama adalah yang terpopuler.

Saat Buddha dilahirkan, kemudian diikuti dengan hujan emas di seluruh India purba (Jambu dvipa). Maka Buddha dinamakan Kanakagamana dimana dalam proses waktu menjadi Konagamana. Selama jamanNya gunung Vepulla di Rajgir dikenal sebagai Vankaka; dan rakyat di daerah tersebut disebut sebagai Rohitassa.

Bodhisatva dilahirkan sebagai seorang Khattiya (Chatriya) di Mithila pada saat Buddha Konagamana dan saat itu namanya adalah Pabbata.

Sumber-sumber berhubungan dengan ilmu purbakala mendukung keberadaan stupa yang didirikan di tempat kelahiran Buddha Konagamana dimana Asoka Maha Besar membesarkan ukurannya 2 kali lipat dan memujanya di masa pemerintahannya ke 20 tahun. (Lihat Hultszch, Tulisan Asoka p. 165). Faxian (Fahsien) yang mengunjungi India dari 399-414 Masehi; dan Xuangzang (Huan Tsang) yang tinggal di India dari 629-645 Masehi juga memberikan petunjuk keberadaan fisik dari stupa-stupa Konagamana di tempat kelahiranNya.

Teks-teks Sansekerta Buddhis seperti Divyavadana (333 f.); Mahavastu (i. 114) menyebut Konagamana sebagai Kanakamuni.






Kisah Perjalanan Segenggam Benih Padi


Alkisah pada suatu ketika seorang anak petani bermain-main dengan segenggam benih padi. Anak ini kemudian bermain di sebuah jalan aspal yang membelah sebuah lahan pertanian yang sangat subur milik ayahnya. Kemudian dilemparnya semua benih padi dalam genggamannya ke atas. Maka berhamburlah benih padi yang siap tanam tadi ketika terbawa angin di udara. Ketika berhamburan inilah kemudian benih padi tersebut jatuh di tempat yang berbeda.
Pertama, ada sebagian biji padi ini kemudian jatuh di atas jalan keras yang beraspal. Benih ini tentunya tidak akan tumbuh dan berbuah di atas jalan aspal yang keras. Lalu kemudian benih ini dilindas mobil atau dimakan burung-burung. Sangat disayangkan benih ini tersia-siakan.
Kedua, ada sebagian lagi kemudian terjatuh di atas bebatuan yang bercampur sedikit tanah di tepi jalan aspal ini. Benih ini kemudian tumbuh karena masih ada sedikit tanah di sana. Tetapi karena kondisi tanah yang sedikit dan berbatu ini, maka akarnya tidak bisa menembus kerasnya batu sehingga kemudian tanaman padi ini tidak tumbuh dengan baik dan akhirnya mati sebelum besar.
Ketiga, sebagian lagi jatuh di sepanjang tepi jalan yang penuh dengan ilalang dan semak semak. Karena tanah yang subur, maka benih padi ini kemudian bertumbuh dengan lebih baik. Bahkan akarnyapun mampu menembus cukup kuat ke dalam tanah. Maka tumbuhlah tanaman padi hingga dewasa. Tetapi tumbuhan ini kemudian tumbuh dengan kurang baik, bahkan tidak mampu menghasilkan bulir padi karena kekurangan makanan sebab harus bersaing dengan ilalang dan semak belukar yang lebih banyak. Meskipun tumbuh dan berkembang tetapi karena kekurangan makanan maka akhirnya tanaman padi inipun mati tanpa menghasilkan bulir padi.
Keempat, sebagian lagi tersebar di atas petak sawah yang siap tanam. Karena tanah yang subur maka benih padi ini bertumbuh menjadi tanaman padi. Tanaman padi inipun kemudian tumbuh menjadi sangat subur dan menghasilkan bulir padi yang cukup besar dan sehat. Hal ini disebabkan semua nutrisi dalam tanah hanya dipakai untuk menumbuhkan tanaman padi ini.
Demikianlah kisah perjalanan segenggam benih padi yang jatuh pada berbagai kondisi dan mengakibatkan berbagai hasil yang berbeda-beda. Bayangkan benih padi yang ditebarkan tersebut adalah Buddha Dhamma yang diajarkan dan dibabarkan di depan banyak orang. Kemudian keempat kondisi di atas menggambarkan kondisi dan sikap seseorang dalam menerima Buddha Dhamma. Marilah kita amati bersama persamaan yang mungkin bisa mewakili empat sikap manusia dalam menanggapi Buddha Dhamma yang diajarkan kepadanya.
Pertama, adalah kondisi orang yang sama sekali tidak menyakini akan kebenaran dan manfaat dari kebaikan yang diajarkan. Hati orang seperti ini ibarat jalanan aspal yang keras dan tidak akan mungkin menjadikan Dhamma tumbuh di dalamnya. Dhamma yang diajarkan kepada orang yang tidak yakin, akan tidak dapat dicerna oleh orang tersebut. Hal ini disebabkan karena ketidakyakinan dan adanya sikap menolak dalam dirinya. Bahkan seringkali sikap yang ditampilkan adalah sikap yang meremehkan keberadaan Buddha Dhamma. Oleh karena itulah Dhamma yang disampaikan pada orang yang tidak menyakini Buddha Dhamma, akan disia-siakan olehnya dan tidak akan menimbulkan bekas apapun dalam diri orang tersebut.
Kedua, adalah kondisi orang yang meskipun keyakinan yang cukup atas kebenaran Buddha Dhamma dalam dirinya tetapi belum bisa mempraktikkannya. Orang seperti ini seringkali mendengarkan
Buddha Dhamma dan merasa senang dengan keindahan dari apa yang diceritakan. Tetapi ketika diminta untuk melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari akan selalu mengatakan bahwa hal ini sulit dilaksanakan dalam kehidupan ini. Dhamma bagi mereka adalah sebuah keindahan yang bisa dimengerti tetapi sangat sulit untuk dijalankan. Orang yang mempunyai sikap seperti ini akan hanya meletakkan kebenaran Buddha Dhamma dalam pemenuhan ego pemikiran saja dan menjadikan Buddha Dhamma hanyalah sebagai sebuah hiburan intelektual. Atau sebagai hiburan ketika sedang mengalami masalah saja. Memang Buddha Dhamma seakan-akan tumbuh dalam dirinya tetapi sebenarnya Dhamma ini tidak dapat dipahaminya dengan baik. Mereka tidak akan pernah bersungguh-sungguh menjalankan dan membuktikannya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itulah maka orang seperti ini tidak akan mendapat manfaat Buddha Dhamma. Ini seperti akar tanaman padi yang tidak mampu menembus kerasnya hati yang tidak terbuka terhadap Dhamma. Orang seperti ini hanya akan membuka pikirannya saja terhadap Dhamma tetapi tidak mau membuka hatinya dalam menerima ajaran Buddha Dhamma.
Ketiga, adalah kondisi orang yang menyakini kebenaran Buddha Dhamma tetapi kurang bijaksana akibat masih tertutup `awan’ egoisme. Kepercayaan dan keyakinan orang ini sangat kuat sehingga dia mampu melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan merasakan manfaatnya, tetapi karena kurang bijaksana dalam menilai sebuah kebenaran, maka kemudian dia terperangkap dalam konsep-konsep kebenaran itu sendiri. Sehingga orang yang seperti ini kemudian memiliki pengertian yang salah dalam menerapkan Buddha Dhamma. Dalam pikirannya, banyak sekali konsep dan pengertian yang telah menyimpang dan dia tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Orang seperti ini akan selalu terikat oleh konsepsi pemikiran pertama yang diciptakan dan diyakininya sendiri akibat ego (ke-aku-annya). Bahkan dalam kasus yang paling parah dapat dilihat pada seorang yang fanatik. Seorang yang begitu mempercayai kebenaran yang diyakini kemudian berusaha mati-matian mempertahankan pengertiannya yang salah itu. Memang pada awalnya Dhamma ini berkembang dalam dirinya sampai akhirnya menimbulkan sebuah keyakinan yang cukup mendalam terhadap satu sisi kebenaran yang mampu dibuktikannya. Tetapi karena tidak hati-hati akhirnya dia terjebak dalam pemikiran yang mengandung Lobha, Dosa, dan Moha. Dan karena pemikiran ini lebih dominan sehingga Buddha Dhamma yang murni seakan-akan tenggelam dalam kesombongan pikirannya sendiri. Oleh karena itu maka akhirnya pengertiannya yang salah ini membuat orang tersebut terseret dalam semak-semak pemikiran yang ruwet, dan dia tidak akan mendapatkan kebenaran lain yang lebih tinggi.
Keempat, adalah kondisi orang yang memiliki keyakinan dan kebijaksanaan dalam mendengar, mengerti, memahami dan melaksanakan Buddha Dhamma. Karena pikirannya bersih dari semak-semak pikiran yang tidak benar maka Buddha Dhamma yang hadir dalam hatinya dapat diterima dengan jelas dan benar. Kekosongan lahan sawah yang ada ibarat kemurnian/kebersihan hati dan pikiran seseorang ketika mempelajari Buddha Dhamma. Sikap yang rendah hati dalam menerima sebuah ajaran Buddha Dhamma dengan mengakui dan mengetahui adanya semak dan ilalang pengertian salah dalam dirinya akan mengantarkan dia pada sikap yang selalu berusaha membersihkan pikirannya dari pengertian yang salah. Sama halnya dengan para petani yang selalu mencabut ilalang yang tumbuh di tengah tanaman padi mereka karena mengetahui bahwa semua ilalang ini tidak ada gunanya bagi mereka. Para petani akan bisa membedakan mana tanaman padi mana tanaman rumput ilalang sejak dari masih kecil. Kebijaksanaan ini tentunya didasari oleh pengetahuan yang benar. Dengan cara seperti inilah maka Buddha Dhamma akan berkembang dengan subur dalam diri kita. Dan dengan demikian pula maka kita akan dapat manfaat yang lebih banyak dalam kehidupan sehari-hari.
Belajar dari perjalanan segenggam benih padi ini, kita seharusnya mulai menilai sampai di manakah posisi kita sendiri dalam cerita di atas? Apakah masih sekeras jalan beraspal? ataukah selunak tanah sawah yang subur? Nilailah diri anda dengan kejujuran dan kerendahan hati sehingga anda bisa mempersiapkan diri anda menjadi sebuah lahan subur bagi bertumbuhnya Dhamma. Dan jadilah petani yang bijaksana yang berusaha menjaga agar lahan sawahnya tidak dikotori oleh benih ilalang yang tidak bermanfaat dan dapat menyebabkan benih padi kita tidak mampu berbuah. Semoga dengan mengetahui kondisi dan situasi dalam mengambil sikap terhadap Buddha Dhamma, kita semua bisa memperbaiki sikap kita dalam belajar.
Semoga dengan mengambil sikap yang tepat kita mampu menyelami dan mengenal Buddha Dhamma yang sesungguhnya. Semoga dengan ini kita bisa hidup lebih berbahagia. ?



Bergaul Dengan Orang Bijak

Dikisahkan pada suatu waktu, ada sejumlah besar pedagang yang sedang berlayar ke samudera dengan sebuah kapal. Ditengah perjalanan, kapal mereka diterjang badai dengan amat dahsyatnya sehingga mengalami kerusakan berat. Bagian dasar kapal bocor dan air sudah mulai masuk ke dalam. Diancam bahaya seperti ini mereka menjadi sangat cemas dan ketakutan.

Masing-masing mencoba mengatasi kejadian yang menegangkan itu dengan cara sendiri-sendiri. Ada yang menangis meraung-raung meratapi 'nasib' yang sedang menimpa diri mereka.

Ada juga yang dengan gencar menyebut mantra atau aji-aji yang dipercaya dapat menangkal badai. Ada pula yang sambil berkomat-kamit mengeluarkan segala jinat, 'hu' atay pusaka yang selama ini selalu dibawa-bawa kemana pun mereka pergi. Mereka percaya benda-benda itu mampu melindungi diri mereka dari segala macam bahaya. Selain itu ada pula yang sembari menjanjikan kaul bersujud memohon ampun kepada dewa badai supaya tidak murka dan berhenti meniupkan badai. Adapula yang menengadahkan kedua telapak tanggannya ke langit, mencoba memelas kepada Sang Pencipta sekaligus pencabut nyawa bagi umat manusia. Mereka mencoba memelas dengan memperlihatkan ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, kebaktian dan ketakwaan kepadanya supaya hari kematiannya diperpanjang lagi.

Di antara pedagang itu, ternyata ada seorang laki-laki yang bukannya sibuk mencari jalan keluar dalam mengatasi musibah tersebut, melainkan hanya duduk dengan tenangnya di atas geladak kapal. Tidak ada rasa taku atau cemas sedikit pun di wajahnya, seolah-olah kejadian itu sama sekali tidak tampak olehmatanya, jerit-jerit kekhawatiran itu tidak terdengar oleh telinganya, suasana yang menegangkan itu tidak mencekam batinnya, dan bahaya yang mengerikan itu tidak disadarinya.

Melihat pemandangan yang aneh tersebut, semua teman seperjalanannya merasa sangat heran. Mereka kemudian berbondong-bondong mendatanginya untuk menanyakan mengapa ia bersikap demikian.

Sebelum menjelaskan alasannya, laki-laki bijak itu mengungkapkan betapa sia-sianya semua upaya yang ditempuh oleh teman-temannya dalam mengatasi masalah tersebut. Kehidupan umat manusia, juga makhluk-makhluk lainnya, sesungguhnya tidaklah bergulir mengikuti guratan nasib atau takdir yang telah ditentukan sebelumnya.

Dunia ini bukanlah sebuah panggung sandiwara dimana umat manusia dipaksa memerankan adegan-adegan sebagaimana yang digubah sebelumnya. Setiap makhluk mempunyai hak dan kepercayaan yang kesahihannya tidak pernah terbuktikan.

Fenomena-fenomena alam terjadi dan berubah hanya oleh sebab-sebab yang alamiah atau ilmiah, sama sekali tidak terpengaruh oleh kepercayaan yang seharusnya sudah punah sejak kebangkitan peradaban manusia. Demikian pula dengan jimat, 'hu' pusaka dan benda-benda keramat lainnya. Yang dapat menjadi pelindung sejati bagi diri seseorang bukanlah sesuatu yang berasa di luar dirinya, apalagi hanya sekedar benda mati yang tak berjiwa semacam itu.

Pada jaman dimana segala kekuatan alam sudah dapat dijelaskan serta dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan, seseorang tidaklah semestinya takut lagi pada dewa-dewa 'tertentu' yang keberadaannya tidak pasti. Sungguh memprihatinkan apabila seseorang termakan oleh promosi tentang tokoh-tokoh fiktif yang digambarkan sebagai penyelamat agung yang senantiasa menolong umat manusia. Setiap orang sesungguhnya dapat menjadi juru selamat bagi diri sendiri.

Karena itu, seseorang hendaknya bersandar pada diri sendiri, bukan kepada makhluk kudus lain betapa pun luhur kedudukannya. Hukum Alam tidaklah pernah pandan gbulu atau berpihak pada siapa pun, dan tidaklah dapat disuap atau dibujuk dengan doa-doa permohonan.

Karena itu, tidaklah perlu berdoa pada suatu makhluk yang bersikap sewenang-wenang, yang eksistensinya sangat meragukan. Manusia bukanlah makhluk rendah yang harus mengemis-ngemis keselamatan apalagi hanya sekedar 'makanan' dan 'rejeki'.

Selanjutnya laki-laki bijak itu menjelaskan mengapa ia sama sekali tidak kelihatan takut, cemas atau khawatir atas bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya duduk dengan tenang karena sudah menyadari serta mempertimbangkan bahwa tidak ada jalan keluar yang wajar dari bahaya tersebut.

Kematian sesungguhnya bukan suatu hal yang menakutkan. Kematian tidak lebih hanyalah padamnya lima kelompok kehidupan. Cepat atau lambat, hal ini pasti menimpa setiap orang. Bagaikan batu karang besar yang puncaknya menjulang ke angkasa, niscaya berubah dan hancur; demikian pula perubahan, kelapukan dan kematian menguasai semua makhluk, tak terkecuali - apakah dia seorang bangsawan, agamawan, pedagang, pekerja atau orang hina-dina. Tidak ada satu makhluk hidup pun yang dapat terhindar dari kematian. Dimana ada kelahiran disitu pula ada kematian. Ini adalah suatu Hukum Alam yang tidak dapat dielakkan.

Bila kita renungkan secara mendalam, seseorang yang dipandang secara duniawi sebagai makhluk yang hidup sebenarnya setiap saat mengalami kematian dan kelahiran kembali yang berulang-ulang. Tidak ada satu bagian pun dair lima kelompok kehidupan yang dapat bertahan terus, kekal.

Rupa atauu badan jasmaniah mulai dari yang tertampak dengan jelas sampai dengan sel-sel yang sangat kecil sekalipun senantiasa mengalami perubahan atau kerusakan. Begitu pula dengan perasaan, ingatan, corak batin dan kesadaran. Semua yang berkondisi tidak kekal.

Apabila mempunya pengertian semacam itu, dan yakin atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan semasa hidupnya - yang menjadi salah satu kondisi penentu bagi kehidupan selanjutnya, maka seseorang tidak akan merasa takut, cemas atau khawatir atas kematian yang bakal menimpa dirinya.

Kematian dapat diterima dalam kewajaran. Dengan mengisi kehidupan dengan perbuatan-perbuatan baik melalui pikiran, ucapan dan tindakan - seseorang dapat mengharapkan kehidupan mendatang yang baik dan menetukan kehidupan mendatang. Apabila seseorang tercekam rasa ketakutan yang tak beralasan (perwujudan dari 'dosa'), melekat pada kehidupan, dunia, harta benda, kemasyuran, kedudukan, kehidupan mendatang bagi dirinya dapatlah dipastikan yaitu suatu kehidupan, yaitu kehidupan yang suram, penuh penderitaan.

Sebaliknya dengan menjaga keadaan batin agar tetap tenang serta mengembangkan pengertian benar; maka kehidupan mendatang yang cerah dan menyenangkan adalah suatu harapan yang nyata bagi dirinya. Salah satu dari sekian banyak cara untuk menenangkan batin ialah dengan merenungkan jasa kebajikan yang pernah diperbuat semasa hidupnya.


Diceritakan oleh laki-laki bijak itu bahwa menjelang keberangkatannya menuju samudra, ia telah mempersembahkan dana kepada Sangha, menyatakan pernaungan pada Sang Tiratana, berpantang dari pembunuhan, pencurian, perzinahan. pendusataan dan pemabukan. Jasa kebajikan inilah yang menjadi pokok perenungan bagi dirinya di saat-saat yang kritis. Dalam Agama Buddha, perenungan - perenungan ini disebut Caganussati dan Sila nussati yang merupakan dua di antara 10 macam perenungan (Annusati 10).

Mendengar penjelasan laki-laki bijak itu, hilanglah perasaan takut yang sebelum ini sangat mencekam para pedagang yang sedang mengalami musibah tersebut. Kini sadarlah mereka atas hakikat kehidupan di dunia ini. Timbullah keyakinan yang benar terhadap Sang Tiratana ; Buddha, Dhamma dan Sangha, di hadapan laki-laki bijak itu mereka semua menyatakan kebulatan tekadnya untuk menjalani Pancasila.

Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pembunuhan, air samudra menggenang hingga sebatas lutut. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pencurian, air samudra menggenang sebatas pinggang. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap perzinahan, air samudra menggenang sebatas dada. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap pendustaan, air samudra menggenang hingga sebatas leher. Ketika selesai mengucapkan pantangan terhadap mabuk-mabukan, air semudra menggenang sebatas mulut.

Begitu kelima sila selesai diucapkan semuanya, laki-laki bijak itu memberikan nasihat singkat : "Tidak ada pelindung selain diri sendiri. Tidak ada penyelamat lain selain diri sendiri. Bagaimanapun kehidupan mendatang, semua itu tergantung dari diri Anda sendiri, bukan orang lian, dewa, malaikat maupun makhluk adikodrati.

"Anda sekalian hendaknya merenungkan sila yang telah Anda tekadkan untuk dijalankan dengan kesungguhan hati. Pelaksanaan Dhamma yang telah Anda lakukan, inilah yang menjadi pelindung Anda yang sejati."

Para pedagang itu menuruti serta melaksanakan nasihat laki-laki bijak itu. Mereka akhirnya sanggup menyambut kematian dengan penuh ketenangan dan kemantapan diri, seolah-olah menyambut seorang tamu. Begitu kesadaran ajal (cuti-citta) mereka padam, mereka semua terlahir kembali di Alam Surga Tavatimsa. Mereka menikmati kebahagiaan surgawi di alam sana dalam waktu yang lama berkat tekadnya yang kuat dalam menjalankan Pancasila.

Dari kisah di atas, tampaklah dengan jelas betapa besar peranan seorang bijak dalam mengarahkan orang-orang lain pada jalur yang tepat. Dengan modal teladan pribadinya yang nyata dan kearifannya., orang bijak sanggup mengikis habis kesesatan batin yang bercokol pada orang-orang lain dan sebaliknya memupuk keyakinan surgawi, hanyalah sebagian kecil dari banyak manfaat yang dapat diraih dengan menjalin pergaulan dengan orang bijak. Singkat kata,"Bergaul dengan orang bijak" adalah suatu Berkah Utama.

Sementara orang mungkin berpendapat bahwa orang bijak tersebut dapatlah dianggap 'gagal' menolong serta menyelamatkan teman-teman seperjalanannya karena mereka semua akhirnya mati terbenam dalam samudra. Sesungguhnya, makna 'keselamatan' dalam pandangan Agama Buddha memang sangatlah berbeda jauh dengan konsep yang dianut oleh beberapa kepercayaan dan agama lain.  Orang bijak bukanlah seorang Buddha Abadi, bodhisattva ideal ataupun juru selamat yang menghidupkan orang mati, menyembuhkan sakit, atau menyelamatkan dari segala bencana malapetaka bagi mereka yang percaya atau melafalkan namanya.

Bagi orang bijak, semua itu sesungguhnya hanyalah suatu keselamatan yang semu ~ walaupun seandainya merupakan suatu kenyataan bukan semata-mata dongeng belaka. Apalah artinya suatu kehidupan, kesembuhan atau keselamatan, apabila seseorang tidak tahu akan kesunyataan mulia (ariya-sacca). Orang bijak tidak ingin menjadi seorang penghibur yang berusaha mengelabuinya, menutupi atau menjauhkan orang-orang lain dari hakikat hidup. Tetapi, sebaliknya dengan berbagai cara orang bijak senantiasa berusaha agar mereka dapat menyadari, menatap serta menerima hakikat hidup dengan pengertian benar. Inilah sesungguhnya keselamatan yang sejati.

Pergaulan dengan orang bijak adalah suatu faktor penunjang bagi timbulnya kebajikan, pengetahuan, pandangan benar, kearifan dan kebijaksanaan.

Empat Kebenaran Mulia
Sebuah pendekatan Modern
Oleh : Willy Yandi Wijaya


Salah satu pilar ajaran Buddha yang mendasari cara berpikir Buddha adalah seperti yang tersirat di dalam Empat Kebenaran Mulia (cattari ariya sacca). Di berbagai bagian Sutta Pitaka[1] dapat kita temukan cara berpikir analisis seperti yang terdapat pada konsep Empat Kebenaran Mulia. Cara berpikir tersebut adalah:
  1. Memahami Suatu Masalah dan menganalisa masalah tersebut
  2. Menyadari dan menemukan ada penyebab masalah tersebut
  3. Mengetahui bahwa masalah dapat teratasi dan mencari cara penyelesaiannya
  4. Menemukan cara mengatasi masalah tersebut dan Menjalankan caranya
Hal tersebut menunjukkan kecerdasan Sang Buddha dan cara berpikir yang logis. Empat Kebenaran Mulia disadari oleh Buddha Gautama ketika beliau mencapai pencerahan :

“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda, bebas dari ketidaksempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak terganggu, aku mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda[2]. Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula penderitaan’, ‘Inilah berhentinya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan’; Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-noda’, ‘Inilah berhentinya noda-noda’, ‘Inilah jalan menuju berhentinya noda-noda’”[3]

Empat Kebenaran Mulia ini adalah ajaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Sang Buddha dalam khotbah pertamanya di Benares[4]. Selain itu Empat Kebenaran Mulia juga adalah ajaran khusus para Buddha[5], yang berarti setiap Buddha selalu mengajarkan 4 Kebenaran Mulia ini walaupun dengan bahasa yang berbeda atau sistematisasi pembagian ajaran yang berbeda.

Empat Kebenaran Mulia tersebut adalah  sebagai berikut:
  1. Kebenaran Mulia tentang adanya ‘penderitaan’ (dukkha)
  2. Kebenaran Mulia tentang penyebab penderitaan
  3. Kebenaran Mulia tentang lenyapnya penderitaan
  4. Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan
Di sini akan dibahas masing-masing perbagian sesuai dengan sutta-sutta[6] dalam Tripitaka, khususnya Sutta Pitaka.

The Four Noble Truths and Eightfold Path
Diagram 4 kebenaran mulia dan Jalan Mulia Berunsur Delapan


Kebenaran Mulia tentang Adanya ‘Penderitaan’ (dukkha)

Kata penderitaan yang digunakan di sini mewakili kata dukkha, walaupun tidak sepenuhnya dapat mewakili makna kata dukkha. Sebelum lebih lanjut membahas tentang penderitaan (dukkha), kita akan melihat definisi dukkhayang ada di dalam Kitab Suci Tripitaka.

“Kelahiran adalah penderitaan; menjadi tua adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; kesedihan, ratap tangis, rasa sakit, kesengsaraan (ketidaksenangan) dan keputusasaan adalah penderitaan; tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan Dengan kata lain Lima kelompok kehidupan (Pancakhandha) yang dipengaruhi kemelekatan adalah penderitaan (dukkha).”[7]

Definisi dukkha (penderitaan) di dalam Kitab Tripitaka terdapat di dalam beberapa sutta. Pengulangan yang berkali-kali menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap Empat Kebenaran Mulia, salah satunya memahami bahwa hidup itu diliputi dukkha (penderitaan)

Memang jika diterjemahkan sebagai penderitaan, kata dukkha akan membuat seolah-olah bahwa agama Buddha memandang hidup adalah pesimis. Namun, dukkha bukan hanya berarti penderitaan dalam artian biasa. Penderitaan disini yang dimaksud adalah penderitaan dari ketidakpuasan seseorang terhadap suatu hal, padahal apapun pasti berubah. Dukkha bisa diartikan sebagai penderitaan karena tidak bisa menerima perubahan.

Sebelum membahas lebih jauh tentang dukkha, perlu diketahui bahwa ciri semua hal yang ada di dunia ini bersifat ‘selalu berubah’. Ini adalah sesuatu yang pasti. Perubahan selalu terjadi, entah disadari atau tidak, diakui atau tidak. Perubahan itu kemudian lebih lanjut dijabarkan dalam kerangka buddhisme sebagai tilakkhana (tiga corak umum). Tiga corak umum mempunyai arti bahwa tiga hal tersebut pasti dan selalu berlaku, yakni ketidakkekalan (anicca), penderitaan atau ketidakpuasan (dukkha), dan tidak ada diri/sesuatu yang tetap (anatta). Ketiganya tak lain mewakili realitas dunia yang selalu berubah.

Jadi dukkha sebenarnya adalah cara pandang manusia terhadap perubahan itu. Dukkha adalah penderitaan atau ketidakpuasan karena manusia tidak bisa hidup kekal (anicca). Konsep perubahan diwujudkan dari 3 sisi pandang yaitu:
  1. Bagi alam atau benda mati dikatakan sebagai anicca (tidak kekal)
  2. Bagi cara pandang manusia terhadap dirinya sendiri dikatakan sebagai dukkha (menderita karenamerasakan perubahan)
  3. Bagi manusia atau mahkluk hidup dikatakan sebagai anatta (tidak ada diri yang tetap abadi tanpa perubahan atau roh/jiwa yang kekal tanpa perubahan)
Jadi dukkha di sini menjadi jelas jika memandangnya dari sudut manusia terhadap diri sendiri dan itu berartidukkha lebih tepat dikatakan sebagai penderitaan karena cara pandang yang salah terhadap kenyataan. Dengan kata lain dukkha terjadi karena manusia masih bersifat subjektif dalam memandang realitas segala sesuatu, yaitu perubahan.


Kebenaran Mulia tentang Penyebab Penderitaan
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa perasaan tidak puas karena kehilangan atau perubahan itulah yang dinamakan dukkha. Dengan pemahaman terhadap penderitaan (dukkha) seperti itu, kita dapat melihat bahwa penderitaan tersebut diakibatkan oleh ‘perasaan tidak puas’. Di dalam konteks buddhis, dinamakan tanhaTanhaadalah nafsu keinginan yang melekat. Melekat artinya jika tidak mendapatkan, maka akan menderita. Kita perlu memahami dengan jelas keinginan biasa dan keinginan yang melekat. Contohnya adalah seorang anak kecil yang ingin mainan. Ia terus ingin dan ingin padahal faktor penunjang untuk mendapatkan mainan tersebut tidak ada. Akhirnya anak tersebut menangis dan ia merasa menderita. Seandainya anak tersebut hanya ingin, namun ia sadar bahwa kenapa orang tuanya tidak membelikannya, keinginannya menjadi hal yang wajar dan tidak melekat. Sama seperti Sang Buddha yang masih ingin makan, namun tidak melekat pada makanan. Sang Buddha tidak menderita ketika tidak mendapat makanan, namun bukan berarti Sang Buddha tidak ingin makan. Seandainya Sang Buddha tidak ingin makan, maka proses makan tidak akan ada dan akan merugikan dirinya sendiri.

Akar dari keinginan yang melekat adalah ketidaktahuan (avijja). Ketidaktahuan (avijja) adalah ketidaksadaran pada suatu momen (saat ini) akan realitas dunia ini yang selalu berubah. Contohnya adalah anak kecil yang ingin mainan tersebut. Seandainya anak kecil tersebut mengerti bahwa keinginannya hanya sesaat dan belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa mainan tersebut lama-kelamaan akan membuatnya bosan juga, ia akan terbebas dari keinginan yang melekat. Jadi ketika keinginan datang menghampiri, kita harus hati-hati untuk tidak  terikat kepadanya. Pikiran dan renungkan dengan bijak apakah keinginan tersebut betul-betul kita butuhkan atau hanya untuk memuaskan keserakahan kita.

Kebenaran Mulia tentang Lenyapnya Penderitaan
Di dalam sammaditthi sutta[8] dikatakan berhentinya penderitaan adalah pemudaran dan penghentian tanpa sisa, penyerahan, pelepasan, membiarkan pergi, dan penolakan nafsu keinginan. Jadi Sang Buddha mengajarkan bahwa keinginan berlebihan yang melekat dapat dihilangkan dari pikiran kita. Ketika keinginan manusia menjadi wajar, tidak melekat, tidak serakah maka kebahagiaan sejati (nibbana) telah ia alami.

Nibbana sebagai kedamaian atau kebahagiaan sejati adalah ketika penderitaan lenyap, ketika akar penderitaan yaitu keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kebodohan batin (moha) telah lenyap. Itulah Nibbana, kebahagiaan sejati yang saat ini dapat kita alami karena sifat keserakahan, kebencian dan kebodohan batin dapat kita hancurkan saat ini juga dengan ketidakserakahan atau ketidakmelekatan (berdana), ketidakbencian atau cinta kasih dan welas asih, serta dengan kebijaksanaan sejati.

Sang Buddha mengatakan bahwa beliau hanyalah seorang penunjuk jalan menuju kebahagiaan sejati (nibbana). Beliau mengajarkan bagaimana melatih diri untuk mengendalikan sifat-sifat negatif. Buddha tidak bisa membawa sesorang ke Nibbana karena nibbana hanyalah sebuah kondisi batin (pikiran, perasaan) yang berbeda pada setiap orang. Yang dapat membuat diri kita mengalami nibbana (kebahagiaan sejati) adalah diri sendiri dengan melatih seperti yang diajarkan beliau yakni Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jadi berhentinya penderitaan (dukkha) sama artinya dengan tercapainya nibbana.

Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan
Sang Buddha memberikan gambaran akan realitas kehidupan, yakni ketidakpuasan atau penderitaan, penyebabnya dan setiap orang dapat mencapai kebahagiaan sejati (nibbana) saat ini juga dengan melenyapkan penderitaan (dukkha). Untuk dapat mencapai kebahagiaan sejati, Buddha mengajarkan suatu cara yang dapat dilakukan setiap orang. Cara tersebut dinamakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Inilah jalan yang akan membawa siapapun kepada kebahagiaan sejati jika telah sempurna dilaksanakan dan telah menjadi bagian dari setiap tindakan yang dilakukan seseorang baik dari agama, ras, suku apa pun juga. Jadi ketika cara pandang seseorang serta tindakannya sesuai dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan—baik ia seorang beragama atau tidak—pasti kebahagiaan sejati akan dialaminya.


Kedelapan bagian dari kesatuan jalan yang saling terjalin tersebut adalah pandangan benar, pikiran atau niat benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian atau penghidupan benar, upaya benar, perhatian atau perenungan benar, dan konsentrasi atau kesadaran benar. Kita memandang kedelapannya sebagai satu kesatuan seperti seutas tali yang terjalin yang saling memengaruhi. Kita melihatnya sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketika suatu perbuatan yang dilakukan baik, hal tersebut berarti pikirannya baik. Ketika sebuah ucapan seseorang bermanfaat, berarti pikirannya dipenuhi oleh cinta kasih. Pikirannya benar (positif) karena pandangannya benar. Sehingga kedelapannya adalah satu kesatuan dengan pusat talinya adalah pandangan benar.